Jakarta, TP – Anggota Komisi II DPR RI, Ahmad Doli Kurnia, menegaskan bahwa dalam sejarah ketatanegaraan Indonesia, status daerah istimewa hanya diberikan pada wilayah setingkat provinsi, bukan kabupaten atau kota.
“Belum pernah ada pemberian status istimewa di tingkat kabupaten atau kota,” ujar Doli di kompleks parlemen, Senayan, Jakarta, Jumat (26/04/2025).
Pernyataan tersebut disampaikan Doli menanggapi usulan menjadikan Kota Surakarta (Solo) sebagai daerah istimewa. Ia menegaskan bahwa konsep kekhususan atau keistimewaan selama ini hanya berlaku di tingkat provinsi.
Doli kemudian menjelaskan beberapa contoh daerah yang mendapatkan status khusus atau istimewa, seperti Daerah Khusus Jakarta (DKJ) — sebelumnya DKI Jakarta — yang mempertahankan kata “khusus” karena sejarahnya sebagai ibu kota negara dalam waktu yang panjang.
Selain itu, Daerah Istimewa Yogyakarta juga disebutkan karena memiliki latar belakang sejarah yang kuat, di mana kesultanan Yogyakarta berperan penting dalam mendukung kemerdekaan Indonesia, termasuk saat menjadi ibu kota negara pada tahun 1946.
Doli juga menyinggung Aceh yang pernah diberikan status daerah istimewa karena kontribusi masyarakatnya pada masa awal kemerdekaan, seperti pengumpulan dana untuk membeli pesawat pertama Indonesia, Pesawat Seulawah. Namun, ia mencatat bahwa status keistimewaan Aceh kini telah bergeser menjadi otonomi khusus.
“Selain itu, ada daerah yang memperoleh otonomi khusus seperti Papua dan Aceh, dengan konsekuensi pemberian dana khusus untuk mendukung percepatan pembangunan dan peningkatan kualitas sumber daya manusia,” ungkap Wakil Ketua Badan Legislasi DPR RI itu.
Melihat fakta tersebut, Doli mengingatkan pemerintah untuk berhati-hati dalam mempertimbangkan usulan pemberian status istimewa kepada Kota Solo. Ia menekankan pentingnya dasar hukum dan historis yang kuat sebelum menetapkan status tersebut.
“Kalau tidak hati-hati, pemberian status istimewa ini bisa memicu kecemburuan daerah lain dan membuka permintaan serupa dari berbagai wilayah dengan beragam alasan, seperti faktor sejarah, budaya, atau keberadaan keraton,” pungkasnya.